4 PERILAKU JAHILIYYAH

10 Mei

Gambar

4 perbuatan ini tidak menguntungkan. Maka, jangan coba-coba melakukannya…

4 perilaku ini ada di zaman kegelapan. Maka, jangan sampai memasukinya..

Apa itu?

Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

“Ada empat perkara jahiliyah yang ada pada umatku, mereka tidak meninggalkannya (yaitu): Membanggakan ketinggian nasab, mencela keturunan, dan menyandarkan turunnya hujan kepada bintang-bintang, serta meratapi orang mati. ” Beliau lalu bersabda, “Seorang peratap jika tidak bertaubat sebelum ia meninggal, kelak akan dibangkitkan hari kiamat dalam keadaan mengenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga serta mantel yang bercampur dengan kurap. ” (HR. Muslim no. 1550 Maktabah Syamilah)

Ada beberapa faidah yang bisa kita petik dari hadits ini, di antaranya:

1. Membanggakan ketinggian nasab serta menghina keturunan merupakan amalan jahiliyah yang tercela dan harus dijauhi.

Karena itu, tak sepantasnya seorang muslim membangga-banggakan kedudukannya di hadapan saudaranya yang lain. Jangan sampai, karena merasa sebagai keturunan orang-orang “besar”, berdarah biru, dan bukan orang ‘biasa’, lantas ia mencela nasab orang lain, meremehkannya dan merendahkan kedudukannya.

Sesungguhnya kemuliaan seseorang itu bukan diukur dari keturunan, kekayaan dan fisiknya, melainkan dari ketakwaannya.

Nabi  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkhutbah di hari penaklukan kota Mekah (Fathu Makkah):

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى، إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rabb kalian adalah satu dan bapak kalian juga satu (yaitu Adam). Ketahuilah, tidak ada kemuliaan orang Arab atas non-Arab dan tidak pula non-Arab atas orang Arab. Begitu pula orang berkulit merah (tidaklah lebih mulia) atas yang berkulit hitam dan tidak pula yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan takwa. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa…(HR. Baihaqi  dalam Syu’abul Iman no. 4774 Maktabah Syamilah)

Karena itu, siapapun, dari suku mana pun dan dari keturunan apapun, tua-muda, pria-wanita, miskin-kaya, jika ia bertakwa kepada Allah, maka dialah yang paling mulia di sisi Allah.

Maka, untuk apa kita berbangga-bangga dengan ‘kehebatan’ leluhur? Dan untuk apa kita melecehkan keturunan dan nasab orang lain?

2. Menyandarkan hujan pada bintang-bintang merupakan perilaku jahiliyah yang tercela dan harus dijauhi.

Karena itu, seorang muslim tak boleh menyandarkan hujan pada bintang tertentu.

Kalau ia meyakini bahwa bintang itu semata-mata sebab/perantara saja, sedangkan yang menurunkan hujan itu sebenarnya adalah Allah, maka ia telah terjatuh kepada syirik kecil. Karena, ia telah menetapkan sesuatu sebagai sebab/sarana padahal tidak dinyatakan oleh syariat sebagai sebab/sarana.

Kalau ia meyakini bahwa bintang-bintang itulah yang menurunkan hujan, bukanlah Allah, berarti ia telah murtad. Sebab ia telah berbuat syirik akbar yaitu menyekutukan Allah dalam perkara yang merupakan kekhususannya (yaitu menurunkan hujan). (Lihat penjelasan Imam An-Nawawi tentang ini di Syarh Shahih Muslim juz1 hal. 166 Maktabah Syamilah)

Seorang sahabat Nabi, Zaid bin Khalid Al-Juhani berkata:

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ فِي إِثْرِ السَّمَاءِ كَانَتْ مِنْ اللَّيْلِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ:

“Rasulullah  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah mengimami kami dalam shalat Subuh di Hudaibiyah setelah semalamnya turun hujan. Seusai shalat, beliau menghadap kepada orang-orang lantas bersabda:

هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قُلْنَا

“Tahukah kalian apa yang difirmankan Rabb kalian? “

Mereka (para sahabat) pun menjawab:

اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ:

“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. “

Beliau bersabda:

قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ

Allah berfirman: ‘Pagi ini di antara hamba-hamba-Ku ada yang beriman dan ada pula yang kufur. Adapun orang yang mengatakan: ‘Telah turun hujan kepada kita berkat karunia Allah dan rahmat-Nya ‘, dia beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang. ‘ Sedangkan orang yang mengatakan: ‘Telah turun hujan kepada kita karena bintang ini dan itu ‘ , dia kafir terhadap-Ku dan beriman kepada bintang. ” (HR. Muslim no. 104 Maktabah Syamilah)

3. Meratapi orang mati merupakan perilaku jahiliyah yang tercela dan harus dijauhi.

Tabiat seorang insan memang tidak menyukai sesuatu yang menyakitkan. Penyakit, kematian, perpisahan dengan orang yang dicintai, tentu saja menyakitkan. Namun, betapapun pahitnya musibah mendera, selayaknya itu tetap membuat hati, lisan dan badan kita senantiasa tunduk, bersabar dan ridha atas-Nya. Bahkan, sepatutnya kita jadikan itu sebagai ladang amal.

Sebab, Allah-karena hikmah-Nya- tidaklah menjadikan suatu musibah sebagai sesuatu yang sia-sia dan tanpa tujuan, apalagi semata-mata kezaliman. Maha Suci Allah dari yang demikian. Namun, Allah عز وجل memberi musibah itu sebagai karunia dan rahmat serta bukti cinta-Nya kepada hamba-Nya tersebut.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sungguh, besarnya pahala setimpal dengan besarnya cobaan. Dan sungguh, Allah bila mencintai suatu kaum, niscaya akan Dia uji mereka dengan cobaan. Siapa yang ridha (dengan cobaan tersebut), baginya keridhaan-Nya dan siapa yang murka, baginya kemurkaan-Nya. ” (HR. Tirmidzi no. 2321 Maktabah Syamilah)

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah menimpa seorang muslim suatu penyakit, keletihan, kesedihan, kegundahan, kesakitan, kepedihan yang mendalam, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah menghapus dosa-dosanya dengan sebab itu semua. ”(HR. Bukhari no. 5210 Maktabah Syamilah)

Kalau memang musibah yang menimpa seorang mukmin itu pertanda kecintaan Allah padanya dan sebagai penghapus dosanya, lantas untuk apa engkau meraung-raung, merobek-robek baju dan melontarkan kata-kata kotor tatkala musibah menerpamu, wahai saudaraku?

Apakah engkau memprotes takdir Rabbmu?

Apakah engkau mau menyatakan-secara tidak langsung-bahwa Dzat yang selama ini memberikanmu berbagai kenikmatan hidup sejak kamu lahir hingga detik ini telah berbuat zalim terhadapmu?

Ampunilah hamba-hamba-Mu ya Allah…

Karena itu, jauhilah perbuatan ini, wahai saudara-saudaraku. Larilah darinya. Berlepas dirilah darinya sebagaimana Nabi kita pun lari dan berlepas diri darinya.

Nabi  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُود وَشَقَّ الْجُيُوب وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّة

“Bukan termasuk golongan kami orang-orang yang memukul pipi, merobek pakaian dan berseru dengan seruan jahiliyah. ” (HR. Bukhari no. 1214 dan Muslim no. 148 Maktabah Syamilah)

Suatu hari seorang sahabat Nabi, Abu Musa sakit keras hingga tak sadarkan diri. Ketika siuman ia berkata:

أَنَا بَرِيءٌ مِمَّنْ بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِئَ مِنْ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَّةِ

“Aku berlepas diri dari orang yang Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pun berlepas diri darinya. Sungguh, Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berlepas diri dari orang yang meraung-raung, mencukur rambutnya, dan merobek bajunya tatkala tertimpa musibah. ” (HR. Bukhari Muslim no. 149)

Maha Suci Engkau ya Allah. Dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan diri-Mu. Aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu….

ABDULLAH IMAM, LC

Tinggalkan komentar